Friday, February 22, 2013

LEGENDA MAHAMERU

Nah Bloggie....Setelah puas dengan dengan temple adventure sekarang kita mulai berpetualang digunung terbesar dipulau jawa yaitu Gunung semeru yang puncaknya dikenal dengan nama Mahameru. Mau taukan Legenda Gunung tersebut...??? Here we go....

Semeru

Langsung ke: navigasi, cari
Gunung Semeru

Semeru, 1985
Ketinggian 3.676 meter (12.060 kaki)
Daftar Ribu
Lokasi
Lokasi Jawa , Indonesia
Koordinat 8°6′28.8″LS,112°55′12″BT
Geologi
Jenis Stratovolcano (aktif)
Letusan terakhir 2008 (berlanjut)
Pendakian
Rute termudah Gubugklakah, Burno
Gunung Semeru atau Sumeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl). Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Jonggring Saloko.
Posisi gunung ini terletak di antara wilayah administrasi Kabupaten Malang dan Lumajang, dengan posisi geografis antara 8°06' LS dan 120°55' BT.
Pada tahun 1913 dan 1946 Kawah Jonggring Saloka memiliki kubah dengan ketinggian 3.744,8 M hingga akhir November 1973. Disebelah selatan, kubah ini mendobrak tepi kawah menyebabkan aliran lava mengarah ke sisi selatan meliputi daerah Pronojiwo dan Candipuro di Lumajang.

Perjalanan

Jembatan di jalan lewat selatan Semeru (1937)
Ranu Regulo pada tahun 1930-an
Diperlukan waktu sekitar empat hari untuk mendaki puncak gunung Semeru pulang-pergi. Untuk mendaki gunung semeru dapat ditempuh lewat kota Malang atau Lumajang. Dari terminal kota malang kita naik angkutan umum menuju desa Tumpang. Disambung lagi dengan Jip atau Truk Sayuran yang banyak terdapat di belakang pasar terminal Tumpang dengan biaya per orang Rp.20.000,- hingga Pos Ranu Pani.
Sebelumnya kita mampir di Gubugklakah untuk memperoleh surat izin, dengan perincian, biaya surat izin Rp.6.000,- untuk maksimal 10 orang, Karcis masuk taman Rp.2.000,- per orang, Asuransi per orang Rp.2.000,-
Dengan menggunakan Truk sayuran atau Jip perjalanan dimulai dari Tumpang menuju Ranu Pani, desa terakhir di kaki semeru. Di sini terdapat Pos pemeriksaan, terdapat juga warung dan pondok penginapan. Bagi pendaki yang membawa tenda dikenakan biaya Rp 20.000,-/tenda dan apabila membawa kamera juga dikenakan biaya Rp 5.000,-/buah. Di pos ini pun kita dapat mencari porter (warga lokal untuk membantu menunjukkan arah pendakian, mengangkat barang dan memasak). Pendaki juga dapat bermalam di Pos penjagaan. Di Pos Ranu Pani juga terdapat dua buah danau yakni Ranu Pani (1 ha) dan Ranu Regulo (0,75 ha). Terletak pada ketinggian 2.200 mdpl.
Setelah sampai di gapura "selamat datang", perhatikan terus ke kiri ke arah bukit, jangan mengikuti jalanan yang lebar ke arah kebun penduduk. Selain jalur yang biasa dilewati para pendaki, juga ada jalur pintas yang biasa dipakai para pendaki lokal, jalur ini sangat curam.
Jalur awal landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi dengan tumbuhan alang-alang. Tidak ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100m. Banyak terdapat pohon tumbang, dan ranting-ranting diatas kepala.
Setelah berjalan sekitar 5 km menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi bunga edelweis, lalu akan sampai di Watu Rejeng. Di sini terdapat batu terjal yang sangat indah. Pemandangan sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit, yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus. Kadang kala dapat menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru. Untuk menuju Ranu Kumbolo masih harus menempuh jarak sekitar 4,5 Km.
Ranu Kumbolo
Di Ranu Kumbolo dapat didirikan tenda. Juga terdapat pondok pendaki (shelter). Terdapat danau dengan air yang bersih dan memiliki pemandangan indah terutama di pagi hari dapat menyaksikan matahari terbit disela-sela bukit. Banyak terdapat ikan, kadang burung belibis liar. Ranu Kumbolo berada pada ketinggian 2.400 m dengan luas 14 ha.
Dari Ranu Kumbolo sebaiknya menyiapkan air sebanyak mungkin. Meninggalkan Ranu Kumbolo kemudian mendaki bukit terjal, dengan pemandangan yang sangat indah di belakang ke arah danau. Di depan bukit terbentang padang rumput yang luas yang dinamakan oro-oro ombo. Oro-oro ombo dikelilingi bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah, padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa. Dari balik Gn. Kepolo tampak puncak Gn. Semeru menyemburkan asap wedus gembel.
Selanjutnya memasuki hutan cemara di mana kadang dijumpai burung dan kijang. Daerah ini dinamakan Cemoro Kandang.
Pos Kalimati berada pada ketinggian 2.700 m, disini dapat mendirikan tenda untuk beristirahat. Pos ini berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara, sehingga banyak tersedia ranting untuk membuat api unggun.
Terdapat mata air Sumber Mani, ke arah barat (kanan) menelusuri pinggiran hutan Kalimati dengan menempuh jarak 1 jam pulang pergi. Di Kalimati dan di Arcopodo banyak terdapat tikus gunung.
Untuk menuju Arcopodo berbelok ke kiri (Timur) berjalan sekitar 500 meter, kemudian berbelok ke kanan (Selatan) sedikit menuruni padang rumput Kalimati. Arcopodo berjarak 1 jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang sangat curam, dengan tanah yang mudah longsor dan berdebu. Dapat juga kita berkemah di Arcopodo, tetapi kondisi tanahnya kurang stabil dan sering longsor. Sebaiknya menggunakan kacamata dan penutup hidung karena banyak abu beterbangan. Arcopodo berada pada ketinggian 2.900m, Arcopodo adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya akan melewati bukit pasir.
Dari Arcopodo menuju puncak Semeru diperlukan waktu 3-4 jam, melewati bukit pasir yang sangat curam dan mudah merosot. Sebagai panduan perjalanan, di jalur ini juga terdapat beberapa bendera segitiga kecil berwarna merah. Semua barang bawaan sebaiknya tinggal di Arcopodo atau di Kalimati. Pendakian menuju puncak dilakukan pagi-pagi sekali sekitar pukul 02.00 pagi dari Arcopodo.
Siang hari angin cendurung ke arah utara menuju puncak membawa gas beracun dari Kawah Jonggring Saloka.
Pendakian sebaiknya dilakukan pada musim kemarau yaitu bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Sebaiknya tidak mendaki pada musim hujan karena sering terjadi badai dan tanah longsor.


Gas beracun

Puncak Mahameru
Di puncak Gunung Semeru (Puncak Mahameru) pendaki disarankan untuk tidak menuju kawah Jonggring Saloko, juga dilarang mendaki dari sisi sebelah selatan, karena adanya gas beracun dan aliran lahar. Gas beracun ini dikenal dengan sebutan Wedhus Gembel (Bahasa Jawa yang berarti "kambing gimbal", yakni kambing yang berbulu seperti rambut gimbal) oleh penduduk setempat. Suhu dipuncak Mahameru berkisar 4 - 10 derajat Celsius, pada puncak musim kemarau minus 0 derajat Celsius, dan dijumpai kristal-kristal es. Cuaca sering berkabut terutama pada siang, sore dan malam hari. Angin bertiup kencang, pada bulan Desember - Januari sering ada badai.
Terjadi letusan Wedus Gembel setiap 15-30 menit pada puncak gunung Semeru yang masih aktif. Pada bulan November 1997 Gunung Semeru meletus sebanyak 2990 kali. Siang hari arah angin menuju puncak, untuk itu hindari datang siang hari di puncak, karena gas beracun dan letusan mengarah ke puncak.
Letusan berupa asap putih, kelabu sampai hitam dengan tinggi letusan 300-800 meter. Material yang keluar pada setiap letusan berupa abu, pasir, kerikil, bahkan batu-batu panas menyala yang sangat berbahaya apabila pendaki terlalu dekat. Pada awal tahun 1994 lahar panas mengaliri lereng selatan Gunung Semeru dan telah memakan beberapa korban jiwa, walaupun pemandangan sungai panas yang berkelok- kelok menuju ke laut ini menjadi tontonan yang sangat menarik.
Soe Hok Gie, salah seorang tokoh aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, meninggal di Gunung Semeru pada tahun 1969 akibat menghirup asap beracun di Gunung Semeru. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.


Iklim

Secara umum iklim di wilayah gunung Semeru termasuk type iklim B (Schmidt dan Ferguson) dengan curah hujan 927 mm - 5.498 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 136 hari/tahun dan musim hujan jatuh pada bulan November - April. Suhu udara dipuncak Semeru berkisar antara 0 - 4 derajat celsius.
Suhu rata-rata berkisar antara 3°c - 8°c pada malam dan dini hari, sedangkan pada siang hari berkisar antara 15°c - 21°c. Kadang-kadang pada beberapa daerah terjadi hujan salju kecil yang terjadi pada saat perubahan musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Suhu yang dingin disepanjang rute perjalanan ini bukan semata-mata disebabkan oleh udara diam tetapi didukung oleh kencangnya angin yang berhembus ke daerah ini menyebabkan udara semakin dingin.

Taman nasional

Ranu Darungan pada tahun 1920-an
Gunung ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Taman Nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Terdapat beberapa gunung di dalam Kaldera Gn.Tengger antara lain; Gn.Bromo (2.392m) Gn. Batok (2.470m) Gn.Kursi (2,581m) Gn.Watangan (2.662m) Gn.Widodaren (2.650m). Terdapat empat buah danau (ranu): Ranu Pani, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo dan Ranu Darungan.
Flora yang berada di wilayah Gunung Semeru beraneka ragam jenisnya tetapi banyak didominir oleh pohon cemara, akasia, pinus, dan jenis Jamuju. Sedangkan untuk tumbuhan bawah didominir oleh Kirinyuh, alang-alang, tembelekan, harendong dan Edelwiss putih, Edelwiss yang banyak terdapat di lereng-lereng menuju puncak Semeru. Dan juga ditemukan beberapa jenis anggrek endemik yang hidup di sekitar Semeru Selatan.
Banyak fauna yang menghuni gunung Semeru antara lain : macan kumbang, budeng, luwak, kijang, kancil, dll. Sedangkan di Ranu Kumbolo terdapat belibis yang masih hidup liar.


Pendaki pertama

Litografi berdasarkan lukisan Abraham Salm dengan pemandangan desa dan latar belakang Gunung Semeru (1865-1872)
Orang pertama yang mendaki gunung ini adalah Clignet (1838) seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda dari sebelah barat daya lewat Widodaren, selanjutnya Junhuhn (1945) seorang ahli botani berkebangsaan Belanda dari utara lewat gunung Ayek-ayek, gunung Inder-inder dan gunung Kepolo. Tahun 1911 Van Gogh dan Heim lewat lereng utara dan setelah 1945 umumnya pendakian dilakukan lewat lereng utara melalui Ranupane dan Ranu Kumbolo seperti sekarang ini.


Legenda gunung Semeru

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15, pada dahulu kala Pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa berguncang. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa.
Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.
Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau Jawa. Ketika gunung Meru dibawa ke timur, serpihan gunung Meru yang tercecer menciptakan jajaran pegunungan di pulau Jawa yang memanjang dari barat ke timur. Akan tetapi ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih tetap miring, sehingga para dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa.
Lingkungan geografis pulau Jawa dan Bali memang cocok dengan lambang-lambang agama Hindu. Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang Gunung Meru, Gunung Meru dianggap sebagai rumah tempat bersemayam dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan Kayangan. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewata, Hyang, dan mahluk halus.

Menurut orang Bali Gunung Mahameru dipercayai sebagai Bapak Gunung Agung di Bali dan dihormati oleh masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada para dewa-dewa Gunung Mahameru dilakukan oleh orang Bali. Betapapun upacara tersebut hanya dilakukan setiap 8-12 tahun sekali hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari dewa Gunung Mahameru. Selain upacara sesaji itu orang Bali sering datang ke daerah Gua Widodaren untuk mendapat Tirta suci.


Aktivitas

12 Juni 2006, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Maritim Tanjung Perak Surabaya, mencatat gempa vulkanik dengan kekuatan 1,8 Skala Richter (SR) akibat aktivitas Gunung Semeru (3.676 mdpl)

Gimana my Bloggie.... Sudah siap beradventure digunung semeru....??? Monggo..... Sekalian shooting film 5cm hehehe...... Semoga bermanfaat Bloggie....

PUING-PUING PENINGGALAN MAJAPAHIT

Dear my bloggie.... Malam ini saya akan bercerita tentang situs purbakala peninggalan kerajaan Majapahit yang berada diTrowulan Mojokerto. Udah siapkah kalian untuk berpetualang kesana....??? Here we go...........
Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan nasional yang menghubungkan Surabaya-Solo.
Di kecamatan ini terdapat puluhan situs seluas hampir 100 kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Cina dari abad ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota Majapahit berpindah ke Daha.

Situs Trowulan adalah satu kawasan di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, tempat ditemukannya banyak peninggalan kuna. Diduga kuat, situs ini adalah salah satu bekas ibukota kerajaan Majapahit.
Kitab Negarakertagama menyebutkan deskripsi puitis mengenai keraton Majapahit dan lingkungan sekitarnya, tetapi penjelasannya hanya terbatas pada perihal upacara kerajaan dan keagamaan. Detil keterangannya tidak jelas, beberapa ahli arkeologi yang berusaha memetakan ibu kota kerajaan ini muncul dengan hasil yang berbeda-beda.
Penelitian dan penggalian di Trowulan pada masa lampau dipusatkan pada peninggalan monumental berupa candi, makam, dan petirtaan (pemandian). Belakangan ini penggalian arkeologi telah menemukan beberapa peninggalan aktivitas industri, perdagangan, dan keagamaan, serta kawasan permukiman dan sistem pasokan air bersih. Semuanya ini merupakan bukti bahwa daerah ini merupakan kawasan permukiman padat pada abad ke-14 dan ke-15.
Trowulan telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.

Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, bhiksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini.

Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles, yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'.


Situs Arkeologi


Peta situs Trowulan. Titik merah adalah situs arkeologi, warna biru muda adalah bekas kanal kuna.
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah

Candi Tikus


Kolam pemandian Candi Tikus
Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.

Gapura Bajang Ratu

Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.







Berkas:Bajang Ratu Gate Trowulan.jpg

Gapura Wringin Lawang


Wringin Lawang, gapura di Trowulan, Mojokerto
Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'candi bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.

Candi Brahu

Di desa Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.












Makam Putri Cempa

Makam Putri Cempa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam.



Kolam Segaran

.
Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan.
Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.

Candi Menak Jingga

Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.

Situs Watu Umpak

Di Situs Watu Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.


Makam Troloyo

Di kompleks Makam Troloyo Desa Sentonorejo ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. Kebanyakan batu nisan tersebut berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa komunitas muslim bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tapi juga sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di makam Troloyo terdapat makam Raden Wijaya. Setiap hari Jumat Legi diadakan ziarah di makam ini.


Situs lainnya

Situs-situs penting lainnya antara lain:

Rumah

Penggalian arkeologi mengungkapkan lantai bata dan dinding permukiman. Dalam beberapa kasus ditemukan dua atau tiga lapisan bangunan yang bertumpuk. Permukiman ini dilengkapi dengan sumur dan saluran air. Ditemukan pula tempat penyimpanan air dan sumur yang dibatasi susunan bata dan tembikar.

Industri

Banyak perhiasan emas yang berasal masa ini telah ditemukan di Jawa Timur. Meskipun tidak terdapat banyak tambang emas di Jawa, impor emas dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi memungkinkan pengrajin emas untuk berproduksi dan bekerja di Jawa.
Salah satu desa di Trowulan disebut Kemasan, yang berasal dari kata mas yang berarti emas. Perhiasan emas serta peralatan pengrajin emas ditemukan di dekat daerah ini. Mangkuk tembikar kecil yang mungkin pernah digunakan untuk melumerkan emas, alas tempa perunggu serta batu rata bundar berkaki tiga yang digunakan sebagai alas untuk menempa dan mengukir logam. Sejumlah besar tanah liat yang digunakan untuk melumerkan dan mencetak perunggu juga ditemukan di dusun Pakis. Beberapa perunggu digunakan untuk mencetak uang gobog, koin besar yang sering digunakan sebagai azimat. Beberapa benda logam lain juga ditemukan, diantaranya lampu perunggu berukir, wadah air, genta, dan benda-benda lain yang mungkin digunakan untuk upacara keagamaan dan instrumen musik gendang perunggu. Benda serupa yang terbuat dari kayu dan bambu masih dapat ditemukan di Jawa dan Bali. Banyak juga ditemukan peralatan besi yang mungkin didatangkan ke Jawa karena Jawa memiliki sedikit tambang bijih besi.


 

Uang dan Pasar

Celengan tanah liat Majapahit dari abad ke-14 sampai ke-15. Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Nasional Jakarta)
Naskah Nawanatya menyebutkan mengenai pejabat kerajaan yang bertugas untuk melindungi pasar. 'Delapan ribu keping uang tunai tiap harinya' diterima pejabat ini. Uang tunai yang dimaksud dalam naskah ini adalah uang kepeng Cina, yang menjadi mata uang resmi Majapahit sejak tahun 1300, menggantikan sebagian fungsi mata uang emas dan perak yang telah digunakan selama berabad-abad. Uang logam atau koin China ini disukai karena tersedia dalam nilai kecil atau uang receh, sangat cocok untuk transaksi sehari-hari di pasar. Temuan ini menggambarkan perubahan ekonomi di Trowulan yang ditandai dengan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli. Bukti penting persepsi masyarakat Jawa abad ke-14 terhadap uang tergambarkan dalam wujud celengan babi dengan lubang di punggungnya untuk memasukkan uang logam. Hubungan antara figur babi dengan wadah uang sangat jelas. Dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata 'celengan' dapat berarti wadah tepat menyimpan uang atau menabung. Sedangkan akar katanya sendiri 'celeng' yang berarti babi hutan. Wadah uang dalam bentuk lain juga ditemukan.

Tembikar

Seni tembikar adalah kegiatan utama masyarakat Majapahit. Kebanyakan perabot tembikar digunakan untuk keperluan rumah tangga, seperti untuk memasak atau wadah penyimpanan, dengan hiasan terbatas pada bentuk garis-garis cat merah. Lampu minyak kelapa dari tembikar juga umum ditemukan. Tembikar terhalus buatannya umumnya berupa wadah seperti gentong, guci, dan kendi dengan dinding yang tipis, bentuk yang indah, serta permukaan halus berkilau warna merah yang didapat dengan cara pengampelasan baik sebelum atau sesudah pembakaran. Karya tembikar ini dipastikan sebagai hasil karya pengrajin tembikar yang mahir dan profesional. Wadah air adalah produk tembikar urban utama Majapahit dan banyak gentong air bulat ditemukan. Ada pula wadah air berbentuk kotak yang dihiasi motif pemandangan bawah air dan pemandangan lainnya.
Patung tembikar dari tanah liat diproduksi dalam jumlah besar dan menggambarkan banyak hal, mulai dari figur dewa, manusia, hewan, miniatur bangunan, dan pemandangan. Fungsi pastinya belum diketahui, mungkin memiliki banyak fungsi. Beberapa figur tanah liat mungkin merupakan bagian dari kuil kecil tempat persembahyangan di masing-masing rumah penduduk seperti yang kini ada di Bali. Contoh dari barang tembikar dalam bentuk miniatur bangunan dan hewan juga ditemukan di dekat bangunan suci di Gunung Penanggungan. Beberapa figur lainnya merupakan penggambaran yang jenaka atas orang-orang asing dan pendatang di Majapahit, mungkin secara sederhana juga digunakan sebagai mainan anak-anak.


Taman Majapahit

Menjelang akhir tahun 2008, pemerintah Indonesia menyeponsori eksplorasi besar-besaran di situs yang dipercaya sebagai bekas lokasi istana Majapahit. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa Taman Majapahit akan dibangun di kawasan ini dan akan rampung pada tahun 2009. Pembangunan kawasan ini bertujuan untuk mencegah kerusakan situs Trowulan akibat industri pembuatan bata rumahan yang tumbuh banyak di kawasan ini.[3] Taman Majapahit ini memperluas area Museum Trowulan yang telah ada dan menjadi sarana wisata edukasi dan rekreasi yang bertema sejarah Majapahit.
Akan tetapi, proyek ini menimbulkan kontroversi dan mengundang protes dari arkeolog dan sejarahwan karena pembangunan fondasi bangunan Pusat Informasi Majapahit di sebelah selatan Museum Trowulan telah merusak situs arkeologi tersebut. Struktur tembok bata dan sumur jobong yang sangat berharga berserakan dan rusak di lokasi pembangunan. Pemerintah berdalih bahwa metode penggalian yang diterapkan tidak merusak situs jika dibandingkan dengan metode pengeboran.[4] Sejak saat itu pembangunan Taman Majapahit ditunda untuk meneliti dampak pembangunan terhadap situs arkeologi.

Nah Bloggie gimana menurut kalian..... Cukup banyak pengetahuankan tentang situs purbakala peninggalan kerajaan Majapahit. Semoga bermanfaat untuk kedepannya demi warisan dari leluhur kita untuk anak cucu kita nanti.  Salam........